Popular Post

Posted by : Shindy Arlina S.pd

         

        Antropologi merupakan ilmu pengetahuan sosial yang berusaha mempelajari manusia dari sudut cara berfikir dan pola berprilaku .
 yakni sisi biologis (antropologi ragawi) dan sisi kultural (antropologi budaya).Antropologi mengambil budaya manusia dari segala waktu dan tempat, menjelajahi masalah-masalah yang meliputi kekerabatan dan organisasi sosial, politik, teknologi, ekologi, agama, bahasa, kesenian dan mitologi.Masalah utama dalam antropologi adalah menjelaskan kesamaan dan perbedaan budaya, pemeliharaan budaya maupun perubahannya dari masa ke masa.Oleh karena budaya itu bersifat dinamis, berbeda dari yang satu dengan budaya yang lain, maka untuk dapat menjelaskan hal tersebut kita harus mempelajari mekanisme, struktur, dan sarana-sarana kolektif di luar diri manusia, yang kemudian disebut sebagai “budaya” (culture).Kultur/budaya merupakan suatu golongan fenomen yang diberi muatan makna tertentu oleh antropolog dalam rangka menghadapi soal-soal yang mereka coba untuk memecahkannya.
Mengenai keragaman/perbedaan pengaturan budaya, antropolog memandang (a) bahwa perbedaan sesuatu yang ada begitu saja sebagai fenomen untuk dicatat, atau sebagai variasi-variasi dalam suatu tema besar yang bernama relativisme budaya, pandangan ini memunculkan kepustakaan yang melukiskan cara hidup sejumlah bangsa besar di dunia. Fatwa antropologi ini “Manusia itu sama, budayanya yang beraneka”. Pandangan selanjutnya, (b) keragaman tidak dipandang sebagai fenomen untuk sekedar dicatat, melainkan dipersoalkan juga alasan penjelasannya, yang berarti antropolog menuntut adanya teori.

Relativisme lawan perbandingan
Relativisme (sebagai tesis ideologis) menyatakan bahwa setiap budaya merupakan konfigurasi unik yang memiliki citarasa khas dan gaya serta kemampuan tersendiri. Kaum relativis menyatakan, bahwa suatu budaya harus diamati sebagai suatu kebulatan tunggal, dan hanya sebagai dirinya sendiri. Sedangkan komparativis menyatakan bahwa suatu institusi, proses, kompleks, atau ihwal, haruslah dicopot dari matriks budaya yang lebih besar dengan cara tertentu sehingga dapat dibandingkan dengan insitusi, proses, kompleks, atau ihwal-ihwal dalam konteks sosiokultural lain. Relativisme ekstrim berangkat dari anggapan bahwa tiada dua budaya pun yang sama; bahwa pola, tatanan, dan makna akan terperkosa jika elemen-elemen diabstraksikan demi perbandingan. Kedua pandangan tersebut memiliki titik temu, yaitu tidak diizinkannya pemerkosaan.Soal ideologi, minat dan tekananlah yang menimbulkan keragaman metodologis. Kedua pandangan tersebut mengakui bahwa tidak ada dua budaya pun yang persis sama.

Perbandingan dan Tipe Struktural
Tipe struktural adalah suatu klasifikasi fenomen yang dipelajari menurut cirinya yang penting dan menentukan, selagi kita mendefinisikan ciri tersebut.Perbandingan yang dilakukan oleh antropolog yang lebih sadar diri dan sistematis dapat dilakukan dengan dua jenis kajian.Pertama adalah jenis perbandingan skala kecil dalam suatu wilayah geografis; jenis kedua adalah survei lintas-budaya berskala besar yang mencakup sejumlah budaya yang tidak memiliki hubungan historis.
Perbandingan dengan lintas budaya skala kecil lebih menguntungan dibanding dengan lintas-budaya skala besar, yaitu (1) kajian ini lebih siap mempergunakan teknik penelitian lapangan tradisional; (2) masyarakat-masyarakat dengan teknologi sederhana di suatu kawasan geografis cenderung memiliki hubungan historis sehingga memojokkan kita untuk memutuskan apakah kita sedang menghadapi kasus tunggal yang berfragmentasi, atau beberapa kasus yang muncul secara bebas (independen).
Kajian besar memungkinkan dicakupnya banyak kasus independen. Kelemahan dari kajian skala besar ini adalah ketidakmampuannya mendeskripsikan tipe-tipe dengan sesuatu cara yang akan memungkinkan pembandingan dalam setiap tipe itu masing-masing maupun antara tipe yang satu dengan tipe yang lain.

Masalah Pendefinisian Teori
Pengetahuan teoritik berusaha menjelaskan fenomen empirik. Teori bukanlah sekedar ikhtisar data yang ringkas, karena tidak hanya mengatakan ‘apa’ yang terjadi melainkan juga ‘mengapa’ sesuatu terjadi sebagai yang berlaku dalam kenyataan. Maka, teori yang berharga harus melaksanakan fungsi ganda, yaitu (1) menjelaskan fakta yang sudah diketahui, dan (b) membuka celah pemandangan baru yang dapat mengantar kita menemukan fakta baru pula

Hubungan antara Teori Etnologi dan Fakta Etnografi
Perbedaan antara fakta dan teori telah dikeramatkan dalam antropologi, yaitu berupa perbedaan antara etnografi (pemerian/deskripsi budaya) dan etnologi (pembentukan teori mengenai pemerian itu).“Pengumpulan fakta sendiri bukanlah prosedur ilmiah yang telah memadai; fakta hanyalah ada sehubungan dengan teori; dan teori tidak dirusak oleh fakta, teori digantikan oleh teori-teori baru yang memberikan penjelasan yang lebih baik tentang fakta iru” (Julian Steward, ‘Cultural Causality and Law’).

Masalah-masalah Khusus dalam Pembentukan Teori Antropologi;
Pandangan-dalam lawan Pandangan-luar Mengenai suatu Budaya
Ilmuwan sosial dihadapkan pada masalah khusus dalam hal data yang ditanganinya.Konsep-konsep yang digunakan oleh orang-orang yang dipelajarinya sering berbeda dengan konsep si antropolog, hingga timbul soal metodologis yang tak kunjung usai dalam antropologi. Dalam menyususn deskripsi mengenai budaya lain, apakah kita akan memerikannya sesuai dengan lihatan orang-orang yang berada di dalam budaya itu, yaitu menurut kaegori konseptual warga budaya yang bersangkutan (pendekatan emik)?; atau, apakah pemerian itu kita susun kategori konseptual dalam antropologi, yakni sebagaimana budaya itu kelihatan dari luar (pendekatan etik)?

Objektivitas Pelaporan Antropologis
Masalah lama dalam ilmu-ilmu sosial yang belum terpecahkan sampai sekarang adalah kesenjangan si peneliti.Bagaimana dapat diharap tercapai pengetahuan objektif mengenai fenomena sosio-kultural bila praktisi ilmu sosial sekaligus ideolog? Masalah yang muncul adalah adanya bias pribadi dari si antropolog sendiri, rasa suka dan tak sukanya sendiri. Pada dasarnya semua manusia mengalami bias.Objektivitas harus dicari dalam institusi dan tradisi kritik suatu disiplin.Lewat saling memberi dan menerima kritik terbuka serta melalui saling pengaruh antara bermacam-macam bias dapat kita harapkan munculnya sesuatu yang mendekati objektivitas. Dengan kata lain, objektitivitas hakiki sesuatu disiplin diupayakan dan ditingkatkan secara kumulatif dari masa-ke masa.

Pembentukan Teori
Ilmu pengetahuan atau sains adalah rentetan pertanyaan dan pengujian bukti mengenai suatu fenomena.

Verstehen.
Verstehen adalah pandangan bahwa ilmu sosial bukanlah perumusan sistem penjelasan yang umum, melainkan lebih cenderung pada pengorganisasian dan presentasi data dengan cara tertentu yang menjadikan data itu dapat dipahami melalui suatu proses pemahaman dan empati individual. Ilmu-ilmu sosial bersifat ideografis (partikularistik) dan tidak bersifat nomotetis (menggeneralisasi).Ilmu bukanlah metode untuk menghasilkan teori.Teori adalah tindak kreatif yang lahir dari pikiran yang menggenggam informasi dan berdisiplin.

Historisitas/Kesejarahan.
Pertama, adanya kondisi sosial yang berubah-ubah dalam perjalanan waktu mendorong harus diciptakannya teori baru untuk menjelaskan struktur baru dan pengaturan sosial baru.Hal ini sesuai dengan konsep teori dinamis, yaitu teori mengenai sistem-sistem yang berubah, sedangkan teori statis adalah mengenai daur yang muncul berulang dalam sesuatu sistem.
Kedua, Sistem Terbuka. Pada intinya sistem yang dihadapi oleh antropolog  bersifat terbuka. Berbeda dengan ahli-ahli ilmu alam yang lebih berhasil dalam menyatakan kondisi-kondisi tertutup atau kondisi batas dari sistem-sistem yang mereka kaji.Hal ini karena jenis variabel yang mereka hadapi memang memungkinkan, dan karena variabel-variabel itu lebih dapat dikontrol dalam situasi eksperimental.Sedangkan antropolog yang mempersoalkan jenis variabel yang jauh lebih banyak, tidak dapat mengontrol semua variabel yang mungkin relevan.Dengan demikian penjelasan terebut bersifat sangat probabilistik.
Ketiga, Isu-isu Sosial. Antropologi dan ilmu-ilmu sosial lain sering menghadapi masalah yang tersodorkan atas nama kepentingan dan kepribadian masyarakat luas. Sementara, dalam kenyataannya disiplin-disiplin tersebut tidak memiliki alat-alat konseptual dan analisis yang memadai untuk memecahkannya, berbeda dengan ilmu alam yang seimbang dengan taraf kecanggihan yang dicapai ilmu itu pada saat tertentu.
Keempat, Ideologi. Reaksi orang terhadap proposisi-proposisi umum dalam ilmu sosial mempunyai konteks ganda, yakni sebagai teori maupun sebagai ideologis sekaligus.Hal ini mempersulit penyaringan teori, mana yang harus dipertahankan karena bermanfaat, dan mana pula yang harus disisihkan karena kurang bermanfaat. Teori sering diajukan dan direaksi sehubungan dengan faktor-faktor yang sepenuhnya bersifat ekstra-ilmiah,misalnya adalah implikasi moral atau yang dianggap sebagai implikasi moral dari suatu teori. Banyak teori yang ditolak karena dipandang bersifat deterministik dan merendahkan martabat manusia; tegasnya, ia ditolak bukan atas dasar alasan logis atau empiris.

II
ORIENTASI TEORITIK
Orisentasi teoritik atau pendekatan yang akan dibahas dalam bab ini adalah evolusionisme, fungsionalisme, sejarah, dan ekologi.

Evolusionisme Abad Kesembilan Belas: Suatu Perspektif Historis
Beberapa kritik terhadap era ini adalah, bahwa Evolusionis abad ini sangat etnosentris.Pertama, mereka menganggap bahwa Inggris dalam era (Victorian England) atau ekuivalennya merupakan prestasi tertinggi yang dicapai umat manusia. Kedua, evoluisionis ini telah melakukan spekulasi dari belakang  yang ceroboh; mereka melakukan rekonstruksi logis berdasarkan data yang diragukan. Ketiga, mereka dipersalahkan karena telah mempostulasikan bagian uniliniar perkembangan kebudayaan yang dikaitkan dengan keniscayaan kemajuan (progress). Tegasnya, mereka dikatakan telah menyatakan bahwa semua budaya harus menempuh runtunan tahap-tahap yang sama atau secara kasar sama, dalam perjalanannya menuju puncak-puncak seperti yang dicapai oleh masyarakat Inggris Victoria dalam abad kesembilan belas.

Evolusionisme Mutakhir; Childe, White, dan Steward
Seorang arkeolog Inggris terpandang V. Gordon Childe (Man Makes Himself, 1941; dan What Happened in History, 1946), menggunakan rekaman arkeologis untuk menunjukkan bahwa kemajuan teknis yang dramatik dalam sejarah manusia (budidaya tumbuhan dan hewan, pertanian irigasi, penemuan logam, dll) telah membawa perubahan revolusioner dalam keseluruhan jalinan kehidupan kultural manusia. Rekaman arkeologis itu menunjukkan bahwa keseluruhan pola perubahan bersifat evolutif dan progresif.Dari pemburu-peramu yang nomadik dalam masa Paleolitik, manusia telah maju sehingga menempuh kehidupan seorang pecocok tanam (holtikulturalis) yang menetap sebagai komunitas kempal dalam masa Neolitik.
Leslie A. White dan Julian Steward (antropolog Amerika), selalu konsisten memegang orientasi evolusioner. Menurut White, tanda-tanda adalah hal atau kejadian yang memiliki arti inheren dengan bentuk fisik tanda itu, atau arti itu diidentifikasikan begitu dekatnya dengan bentuk fisik sehingga tampaknya inheren. Di pihak lain, simbol atau lambang merupakan benda atau kejadian yang artinya dilekatkan secara arbitrer (sewenang) oleh orang yang menggunakannya secara kolektif.
Mengenai evolusi budaya, White menyatakan konsepnya.Sementara budaya merupakan piranti adaptasi bagi manusia untuk berakomodasi terhadap alam dan mengadaptasikan alam padanya, pada dasarnya manusia-dalam-budaya melaksanakan hal itu dengan mengerahkan energi yang tersedia dan mempekerjakannya demi kepentingan spesies tersebut. Senada dengan White, Steward pun bersikap kritis terhadap para relativis yang menekankan keberbedaan setiap budaya, dan praktis mengabaikan kemiripan lintas-budaya yang mengesankan sebagai yang terungkap dalam proses kultural.
Letak perbedaan antara Steward dan White, dan dengan demikian antara Steward dengan evolusionis abad kesembilan belas pula, ialah letak pada taraf generalitas yang menjadi pijakan dalam konseptualisasi evolusi budaya. Jenis evolusionisme White oleh Steward disebutevolusionismeuniversal (karena berlaku untuk keseluruhan budaya dan bukan untuk budaya-budaya tertentu). Steward mengontraskannya dengan pendekatan uniliniar (semua budaya dikatakan telah melampaui tahap-tahap yang sama atau mirip) yang dialamatkannya pada para penulis abad kesembilan belas. Steward juga mengontraskannya dengan ancangan Steward sendiri yang disebutnya evolusi multiliniar, yaitu sebagai metodologi untuk menelaah perbedaan dan kemiripan budaya melalui perbandingan antara runtunan-runtunan perkembangan yang paralel, umumnya di wilayah-wilayah geografis yang terpisah jauh.
Ada tiga gagasan yang berkait, dan secara bersama-sama merupakan unsur sentral dalam ancangan Steward mengenai evolusi budaya: (1) institusi inti lawan institusi periferal; (2) tipe budaya; (3) taraf integrasi sosial-budaya. Institusi adalah yang paling erat hubungannya dengan cara suatu budaya beradaptasi terhadap lingkungan dan mengeksploitasi lingkungan itu. Institusi Inti dapat meliputi unsur-unsur budaya ideologis, sosiopolitis, dan teknoekonomis, faktor-faktor teknoekonomislah yang paling menonjol pengaruhnya dalam menetapkan serta membentuk ciri-ciri strategis suatu masyarakat.

Beberapa Sumbangan Baru
Marshal Sahlins pernah mengemukakan bahwa pandangan White dan Steward mengenai evolusi budaya bersifat saling melengkapi dan bukannya bertentangan. Dia melihat dua cara dalam mengkonseptualisasikan proses evolusioner. Di satu pihak, evolusi budaya telah menghasilkan taraf pengorganisasian yang meningkat, yakni sebagai sistem-sistem yang memperlihatkan kompleksitas yang lebih besar dan adaptabilitas yang menyeluruh. Sahlins menyebut proses atau aspek ini sebagai ‘evolusi umum’ (general evolution). Sementara itu, ketika muncul tipe-tipe kebudayaan baru, tipe-tipe itu mengalami proses yang tak terelakkan berupa tradisi dan adaptasi terhadap lingkungan totalnya yang khas. Demikianlah maka Sahlins menyebut proses atau aspek ini sebagai ‘evolusi spesifik’ (specificevolution).

Tipe-tipe Struktural
Dalam suatu ancangan evolusioner tercakup penyusunan tipe-tipe struktural serta pengorganisasian tipe-tipe itu dalam runtunan logis tertentu yang mendaki jenjang kompleksitas yang makin tinggi, apapun definisi kompleksitas itu.

Fungsionalisme
Fungsionalisme adalah penekanan dominan dalam studi antropologi khususnya penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam.Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodologis bahwa kita harus mengeksplorasi ciri sistemik budaya.Artinya, kita harus mengetahui bagaimana keterkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain adalah memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tanpa kaitan, yang muncul di sana-sini karena kebetulan historis.

Perubahan Budaya
Keluhan yang lazim dilontarkan mengenai analisis fungsional adalah karena analisis ini mempersoalkan pemeliharaan-diri sistem, ia tidak dapat menjelaskan perubahan struktural. Untuk menjelaskan perubahan struktural, orang harus mempertimbangkan bobot kausal variabel-variabel tertentu.Artinya, haruslah ditentukan unsur, institusi, atau struktur mana yang lebih mendasar, lebih fungsional daripada yang lain-lain.

Prasyarat Fungsional
Pada tahun 1950, sekelompok ilmuwan sosial menerbitkan artikel yang memuat model masyarakat manusia.Model itu menggeneralisasikan semua masyarakat manusia dan berisi daftar “prasyarat fungsional”.Para penulisnya mengajukan pembenaran bagi “dicantumkannya prasyarat itu masing-masing, dengan menunjukkan bahwa jika secara hipotetis prasyarat itu tidak dipenuhi maka masyarakat tidak bakal dapat lestari”. Daftar prasyarat yang mereka susun meliputi: (a) jaminan adanya hubungan yang memadai dengan lingkungan dan adanya rekruitmen seksual; (b) diferensiasi peran dan pemerian peran; (c) komunikasi; (d) perangkat tujuan yang jelas dan disangga bersama; (e) pengaturan normatif atas sarana-sarana; (f) pengaturan ungkapan afektif; (g) sosialisasi; (h) kontrol efektif atas bentuk-bentuk perilaku mengacau (disruptif).Lebih lanjut, syarat analisis fungsional yang memadai adalah minimal adanya: (a) suatu konsepsi tentang sistem; (b) daftar syarat fungsional untuk sistem itu; (c) definisi berbagai sifat atau “status” sistem yang dalam keadaan terpelihara; (4) pernyataan tentang kondisi eksternal sistem itu yang dapat dibayangkan memiliki pengaruh terhadap sifat-sifat tersebut dan dengan demikian dapat dikontrol; dan (5) pengetahuan tertentu tentang mekanisme internal dalam pemeliharaan sifat sistem itu atau dalam mempertanyakannya agar berada dalam batas tertentu.

Sejarah
Peristiwa sejarah merupakan peristiwa yang terjadi pada masa silam, dan bahwa pengetahuan kesejarahan adalah pengetahuan tentang peristiwa masa silam.Akan tetapi karakterisasi sejarah sebagai “perhatian terhadap masa lampau” itu mungkin tidaklah selugas atau sejelas kedengarannya. Masa lampau dapat berarti kejadian yang berlangsung lima menit yang lewat, lima tahun sebelumnya, atau lima ratus tahun yang silam, dan sebagainya. Akan tetapi terdapat metode yang berbeda untuk menangkap kembali atau membangun kembali antara yang lima menit yang lalu dengan yang lima atau lima ratus tahun silam. Dalam membicarakan masa lampau yang dekat mungkin kita bisa mengandalkan pengalaman kita sendiri ditambah laporan serta amatan para informan, petunjuk dan bukti yang tersedia dalam dokumen-dokumen. Sedangkan untuk membicarakan masa lampau yang jauh, pengalaman pribadi yang langsung tidak ada, sehingga kita menyandarkan diri pada bukti, petunjuk tak langsung yang terdapat dalam artefak, catatan-catatan semasa, serta bentuk dokumentasi lain. Meskipun demikian tidak ada perbedaan berarti antara metodologi historiografi yang baru (recent) dan yang jauh (remote) dalam hal tafsir. Jika minat kita tidak sekedar pada kronologi pengisahan sejarah alam, kita harus menggunakan proses klasifikasi, kategorisasi, serta menunjukkan kemungkinan hubungan antara tipe-tipe kejadian alam. Di sinilah perspektif fungsional dan perspektif evolusional harus dikawinkan dengan perspektif historis.Sebab hanya dengan menggabungkan fungsionalisme, evolusionisme, dan sejarah itulah kita baru dapat mulai merumuskan teori. Dengan menata data secara demikian, perhatian kita akan tertuju pada tipe-tipe elemen atau kejadian yang membantu kita memahami cara-cara kerja sistem yang konkret dan juga alasan munculnya cara kerja itu.
Jika kita tidak meletakkan kejadian historis dalam suatu kerangka fungsional-evolusioner, sejarah kita tetap berupa narasi atau kronologi.Demikianlah maka eksistensi dan arti fakta historis atau etnografis, seperti halnya semua fakta hanya dapat muncul dalam kaitan dengan teori atau kriteria relevansi yang menghadirkan fakta itu.

Ekologi Budaya
Suatu ciri dalam ekologi budaya adalah perhatian mengenai adaptasi pada dua tataran: pertama, sehubungan dengan cara sistem budaya beradaptasi terhadap lingkungan totalnya, dan kedua-sebagai konsekuensi adaptasi sistemik itu-perhatian terhadap cara institusi-institusi dalam sesuatu budaya beradaptasi atau saling menyesuaikan diri. Ekolog-budaya menyatakan bahwa dipentingkannya proses-proses adaptasi akan memungkinkan kita melihat cara kemunculan, pemeliharaan dan transformasi sebagai konfigurasi budaya. Umumnya ekologi kultural cenderung menekankan teknologi dan ilmu ekonomi dalam analisis mereka terhadap adaptasi budaya, karena dalam segi-segi budaya itulah kelihatan jelas perbedaan di antara budaya-budaya di samping perbedaan dari waktu ke waktu di dalam suatu budaya. Berbeda dengan ekologi umum, ekologi budaya tidak sekedar membicarakan interaksi bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu ekosistem tertentu, melainkan membahas cara manusia (berkat budaya sebagai sarananya) memanipulasi dan membentuk ekologi sistem itu sendiri.

Konsep Lingkungan
Kata lingkungan umumnya disama-artikan dengan ciri-ciri atau hal-hal menonjol yang menandai habitat alami: cuaca, flora dan fauna, tanah, pola hujan, dan bahkan ada-tidaknya mineral di bawah tanah. Salah satu kaidah dasar ekologi-budaya adalah pembedaan antara lingkungan-sebagaimana-adanya dengan lingkungan efektif, yakni lingkungan sebagimana dikonseptualisasikan, dimanfaatkan dan dimodifikasi oleh manusia.

Konsep Adaptasi
Adaptasi merupakan proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya. Budaya dan lingkungan berinteraksi dalam sesuatu sistem tunggal tidaklah berarti bahwa pengaruh kausal dari budaya ke lingkungan niscaya sama besar dengan pengaruh lingkungan terhadap budaya. Dengan kemajuan teknologi, maka faktor dinamik dalam kepaduan budaya dan lingkungan makin lama makin didominasi oleh budaya dan bukannya oleh lingkungan sebagai lingkungan itu sendiri.Konsep adaptasi menurut para antropolog adalah bahwa suatu budaya yang sedang bekerja, dan mengganggap bahwa warga budaya itu telah melakukan semacam adaptasi terhadap lingkungannya secara berhasil baik. Seandainya tidak demikian, budaya itu niscaya sudah lenyap, dan kalaupun ada peninggalannya itu hanya akan berupa kenangan arkeologis tentang kegagalan budaya itu beradaptasi. Artinya kegagalannya untuk lestari sebagai sebentuk budaya yang hidup. Dua budaya dalam lingkungan yang sama, salah satunya mampu melebarkan sayapnya dengan merugikan budaya lainnya. Hal ini berarti kelestarian budaya yang pertama mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya dibanding dengan adaptasi budaya yang digusurnya.

III
TIPE-TIPE TEORI BUDAYA
Sebuah teori diarahkan untuk menjawab pertanyaan mengapa (bagaimana) timbul regularitas alam; dengan demikian teori harus memuat pernyataan tentang mekanisme tertentu serta hubungan antara variabel-variabel yang tercakup dalam fenomen yang diselidiki.

Teknoekonomi
Kata teknoekonomi tidak hanya mengacu pada mesin dan alat yang digunakan budaya tertentu, melainkan juga cara benda-benda itu diorganisasikan dalam penggunaannya, dan bahkan juga pengetahuan ilmiah yang memungkinkan hadirnya benda-benda itu.setiap komponen teknologi (teknoekonomi) itu penting; tetapi dalam keadaan kultural dan historis tertentu, seperangkat faktor (misalnya: alat-alat) mungkin lebih menentukan daripada faktor-faktor lainnya. Penetapan akhir apakah suatu budaya “memutuskan” untuk membiarkan “teknologi” memegang kendali atau “memutuskan” untuk mengendalikan “teknologi” demi perbaikan sosial, adalah produk sejarah dan pengaturan sosioekonomis beserta ideologi yang mengiringinya. Pada kedua kasus itu efektivitas ideologi dibatasi atau ditentukan oleh berbagai jenis kekuasaan yang mampu atau tidak mampu dilaksanakannya.

Ekologi Budaya dan Teknoekonomi: Orientasi dan Teori
Teori-teori teknoekonomi tidak secara eksklusif memusat pada teknik dan alat yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomisnya.Singkatnya, bagian pertama dari kata bentukan itu (tekno) mengacu pada perlengkapan teknis atau materiil dan pengetahuan yang ada dalam (dan dapat dimanfaatkan oleh) masyarakat.Sedangkan kata kedua (ekonomi) menekankan pengaturan yang dilakukan oleh suatu masyarakat dalam menggunakan perlengkapan teknis dan pengetahuannya untuk produksi, distribusi, serta konsumsi barang dan jasa. Dalam pengertian yang dibatasi secara sewenang ini, teknologi adalah representasi dari “kesempatan” (opportunity), sedangkan ekonomi representasi cara pemberlakuan kesempatan itu dalam masyarakat.

Determinan Teknoekonomi
Ungkapan “determinan teknologi” dan “determinan teknoekonomi” sering digunakan secara kurang selayaknya untuk menandai serta mengevaluasi sesuatu karya.Implikasinya adalah karya yang disebut demikian mengandung sesuatu yang simplistik, mekanistik, dan kurang imaginatif.Akan tetapi sulit menghindarkan adanya determinisme sosioekonomis dengan derajad tertentu, dalam segala analisis mengenai perubahan kultural.Di antara kesemua faktor yang digunakan antropolog untuk memberikan penjelasan, faktor-faktor teknoekonomi adalah yang paling kelihatan dan paling mudah dipahami.Oleh karenanya, teori-teori teknoekonomis menjadi lebih gampang dikukuhkan dengan bukti atau disanggah jika dibandingkan dengan teori-teori lainnya.
Struktur Sosial
Evans-Pritchard mengemukakan bahwa struktur sosial merupakan konfigurasi kelompok-kelompok yang mantap; menurut Talcott Parsons, ia adalah suatu sistem harapan/ekspektasi normatif (normativeexpectations); Leach mengatakannya sebagai seperangkat norma atau aturan ideal; sedangkan Levi-Strauss berpendapat bahwa struktur sosial adalah model. Beberapa strukturalis-sosial berupaya menjelaskan struktur kemasyarakatan dengan merumuskan beberapa kaidah tertentu yang menjadi landasan organisasi. Maka sejumlah antropolog Inggris-misalnya-dalam menganalisis masyarakat yang memberlakukan garis keturunan segmentaris sering berbicara tentang “kaidah segmenter” itu hingga terkesan seolah warga masyarakat itu memiliki “cetak biru” dalam pikiran mereka tentang masyarakat mereka sendiri, yang kemudian mereka laksanakan. Radcliffe-Brown mengajukan beberapa prinsip struktural macam itu untuk menyoroti beberapa ihwal dalam sistem kekerabatan: kaidah ekuivalensi saudara sekandung, kaidah solidaritas garis keturunan, dan seterusnya.

Peran Struktur Sosial Sebagai Penentu
Konseptualisasi struktur sosial berhubungan dengan tindak sosial, interaksi sosial, dan perilaku peran.Jalan pikiran mengenai struktur sosial ini sewajarnya memusatkan perhatian pada individu atau aktor sosial sebagai pengejawantahan struktur tersebut.Secara keseluruhan, inilah yang menyebabkan munculnya anaisis “mikroskopis” yang ditunjuk oleh Nisbet. Pada tataran deskripsi, pendekatan ini sangat asuk akal karena bagaimanapun juga yang kita amati dalam penelitian lapangan adalah tindak serta interaksi individu-individu.

Matra Politik
Bergantung pada cara konseptualisasinya dan penekanannya, institusi politik dapat pula dipandang sebagai variabel struktural yang memiliki dampak penentu atau kausal. Dalam analisis perbandingan tentang hubungan antara kekuasaan politik dan perekonomian dalam masyarakat stateless (khususnya chiefdom, yakni masyarakat primitif yang luas dan bersegmen majemuk serta memiliki pemerintahan pusat) Marshall Sahlins menunjukkan bahwa ketika kedudukan atau jabatan yang mengandung kekuasaan muncul (bukan kekuasaan yang sekedar melekat pada karakteristik pribadi) kedudukan politik itu (atau orang yang menempatinya) mereaksi struktur perekonomian dan mereorganisasikannya menjadi jaringan produksi serta distribusi yang berbeda cukup tajam dengan ciri-ciri perekonomian sebelumnya.

Ideologi
Dalam hal ini istilah ideologi mengacu kepada kawasan ideasional dalam suatu budaya. Dengan demikian dalam hal ini, istilah ideologi meliputi nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos, dan semacamnya. Dalam penggunaan yang lebih modern dan sempit, ideologi biasanya mengacu pada sistem gagasan yang dapat digunakan untuk merasionalisasikan, memberikan teguran, memaafkan, menyerang, atau menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak, atau pengaturan kultural tertentu. Dengan demikian bila sekarang orang berkata bahwa suatu sistem gagasan bersifat “ideologis”, biasanya ini berarti gagasan-gagasan itu bersifat partisan, artinya: tidak terlalu objektif melainkan disusun untuk mendukung (atau menyerang) sesuatu misi atau maksud tertentu. Dalam pengertian ini nuansa khusus tersebut dipertentangkan dengan kenetralan pengetahuan dalam artinya yang murni.Dikatakan bahwa ideolog menggunakan atau bahkan mencocok-cocokkan fakta demi mendukung sikap ideologisnya, dan bukannya membenahi sistem gagasannya sendiri manakala fakta menghendaki demikian. Oleh sebab itu, kebanyakan peneliti modern sungguh-sungguh berupaya untuk membedakan gagasan-sebagai-pengetahuan si satu pihak, dengan ideologi di pihak lain.

Masalah Metodologis dalam Menetapkan Batas Subsistem Ideologi
Ideologi tidak dapat kita ketahui melalui pengamatan langsung karena sifanya subjektif. Ideologi harus disimpulkan dari sesuatu bentuk perilaku, yakni dari apa kata orang atau dari pengamatan atas orang-orang yang berinteraksi dalam berbagai sistem sosial.  Kendati demikian, masyarakat yang masih sederhana umumnya kurang memiliki kepustakaan tertulis yang mungkin dapat membantu kta mengetahui struktur ideologisnya, keuntungannya bagi kita ialah bahw subsistem yang kita hadapi merupakan subsistem yang relatif homogen, yang disangga bersama oleh kebanyakan warga masyarakat tersebut.
Ada beberapa keputusan metodologis yang sangat penting untuk mencoba memahami gejala ideologis yang subjektif  dibalik perilaku terbuka, yaitu: pertama, berapa besarkah bobot yang harus diberikan pada pernyataan verbal yang dikemukakan oleh informannya? Ketika orang mengemukakan alasan tindakannya dalam suatu situasi tertentu, apakah alasannya itu adalah alasan “sebenarnya”?Atau, apakah orang itu tidak tahu (bodoh), berdusta secara sadar, membuat rasionalisasi, mengemukakan versi resmi, ataukah hanya mengatakan hal yang disangkanya ingin kita dengar? Jenis kesulitan yang lain adalah, apakah yang kita akui sebagai gejala ideologis hanyalah unsur-unsur dan proposisi yang dianut dan dikatakan oleh sehimpun orang secara sepenuh sadar? Ataukah kita terima kemungkinan bahwa perilaku suatu masyarakat namun sekaligus begitu mendalam terinternalisasikan sehingga mereka sendiri sampai tak sanggup mengungkapkannya dengan kata-kata.


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © PGSD - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Nafi design -