- Back to Home »
- Etika dan Budi pekerti »
- Teori dan Aliran Pokok dalam Etika
Posted by : Shindy Arlina S.pd
Dalam
sistem etika Barat ini, ada tiga teori etika yang akan dibahas antara lain:
1. Teori Teleologi
Teleologi berasal dari akar kata Yunani telos, yang
berarti akhir, tujuan, maksud, dan logos, perkataan. Teleologi
adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada
tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan oleh Christian
Wolff, seorang filsuf Jerman abad ke-18. Teleologi merupakan sebuah studi
tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan,
akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai
dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti umum, teleologi merupakan sebuah
studi filosofis mengenai bukti perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam maupun
dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi merupakan ajaran filosofis-religius
tentang eksistensi tujuan dan “kebijaksanaan” objektif di luar manusia.
Dalam dunia
etika, teleologi bisa diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik
buruknya suatu tindakan dilakukan, Teleologi mengerti benar mana yang
benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir. Yang lebih
penting adalah tujuan dan akibat. Betapapun salahnya sebuah tindakan menurut
hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai
baik. Ajaran teleologis dapat menimbulkan bahaya menghalalkan segala cara.
Dengan demikian tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan yang benar
menurut hukum. Perbincangan “baik” dan “jahat” harus diimbangi dengan “benar”
dan “salah”. Lebih mendalam lagi, ajaran teleologis ini dapat menciptakan
hedonisme, ketika “yang baik” itu dipersempit menjadi “yang baik bagi diri
sendiri. Berdasarkan pembahasan etika teleologi ini, kemudian muncul
aliran-aliran teleologi, yaitu egoisme dan utilitarianisme.
a. Egoisme
Inti pandangan
egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk
mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Perilaku yang dapat
diterima tergantung pada konsekuensinya. Inti pandangan egoisme adalah bahwa
tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan
memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang
adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru
menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu
ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai
kenikmatan fisik yg bersifat vulgar. Memaksimalkan kepentingan kita terkait
erat dengan akibat yang kita terima.
Seseorang tidak
mempunyai kewajiban moral selain untuk menjalankan apa yang paling baik bagi
kita sendiri. Jadi, menurut egoisme etis, seseorang tidak mempunyai kewajiban
alami terhadap orang lain. Meski mementingkan diri sendiri, bukan berarti
egoisme etis menafikan tindakan menolong. Mereka yang egoisme etis tetap saja
menolong orang lain, asal kepentingan diri itu bertautan dengan kepentingan
orang lain. Atau menolong yang lain merupakan tindakan efektif untuk
menciptrakan keuntungan bagi diri sendiri. Menolong di sini adalah tindakan
berpengharapan, bukan tindakan yang ikhlas tanpa berharap pamrih tertentu.
Contoh: R.Budi dan Michael Hartono, misalnya, memiliki
kekayaan US$ 11 miliar dan menempati perigkat pertama. Kekayaan ini diperoleh
dari antara lain kelapa sawit dan industri rokok (Djarum). Angka kekayaan ini
cukup tinggi jika dibandingkan dengan total kekayaan 40 orangterkaya sebanyak
US$ 71 miliar. sesungguhnya sudah bisa melihat karakter egoisme etis pada
mereka. Yang mana? Jikalau mereka altruisme, bisa dipastikan tak akan berbisnis
rokok. Orang-orang altruisme akan berpikir rokok merupakan komoditas yang
“mematikan” banyak orang, maka harus dicegah utnuk memperbanyak alat pembunuh
itu. Sebaliknya, egoisme etis mengabaikan rokok yang disepadankan dengan alat
pembunuh. Egoisme etis harus meneguhkan hati, “Ini cuma bisnis, jadi harus
diabaikan dampak-dampak yang ditimbulkan. Salah sendiri orang lain mau membeli
rokok sang pembunuh ini”.
b. Utilitarianism
Semakin tinggi
kegunaannya maka semakin tinggi nilainya. Berasal dari bahasa latin utilis yang
berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika
membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua
orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Sebaliknya, yang jahat atau
buruk adalah yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu,
baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah,
dan menguntungkan atau tidak. Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan
perbuatan.
Contoh: Industri rokok “menolong” kemajuan olahraga dengan
menggelontorkan dana sebanyak-banyaknya, namun berpengharapan para penggila
olahraga ini (pemain atau penonton) menjadi perokok aktif maupun pasif. Jelas,
menolong yang dilakukan adalah berdasarkan keterpautan kepentingan diri
sendiri.
2. Teori Deontologi
Teori Deontologi yaitu
: berasal dari bahasa Yunani, “Deon“ berarti tugas dan “logos” berarti
pengetahhuan. Sehingga Etika Deontologi menekankan kewajiban manusia untuk
bertindak secara baik. Suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan
berdasarkan akibatnya atau tujuan baik dari tindakanyang dilakukan, melainkan
berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada diri sendiri. Dengan kata lainnya,
bahwa tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan terlepas
dari tujuan atau akibat dari tindkan itu. Contoh: jika seseorang diberi tugas
dan melaksanakanny sesuai dengan tugas maka itu dianggap benar, sedang
dikatakan salah jika tidak melaksanakan tugas
Teori ini
menafikan konsep Teori Teleologikal karena golongan deontologist ini ialah
golongan yang tidak percaya dengan akibat. Teori ini menegaskan bahwa betul
atau salahnya sesuatu tindakan itu tidak berdasarkan atau ditentukan oleh
akibat-akibat tindakan tersebut. Mengikut teori ini, nilai moral suatu tindakan
tidak boleh dinilai ke atas kesudahannya iaitu hasil atau kebaikan yang akan
didapati kerana kesudahan sesuatu tindakan adalah tidak jelas dan tidak dapat
ditentukan hasilnya semasa tindakan tersebut dibuat tetapi bergantung pada niat
seseorang itu yang membuat keputusan atau melakukan tindakan.
Immanuel Kant,
seorang ahli falsafah German (1724-1804) yang pernah mengajar di University of
Konigsberg di bahagian barat Rusia merupakan seorang ahli falsafah yang sering
dikaitkan dengan Teori Deontologikal ini. Hal ini kerana, beliau percaya bahawa
apa yang memberi nilai moral kepada sesuatu tindakan bukan akibatnya kerana
akibat-akibat tindakan kita tidak sentiasa berada di bawah kawalan kita tetapi
motif atau niat tindakan kita adalah di bawah kawalan kita. Oleh itu, kita
harus bertanggungjawab secara moral atas motif kita untuk membuat kebaikan atau
keburukan.
Teori
Deontologikal ini terbagi kepada dua aspek yaitu deontologikal tindakan
(eksistensialisme) dan deontologikal peraturan (prinsip kewajiban).
Eksistensialisme bermaksud kebebasan moral bertindak tanpa amanah, paksaan dan
larangan iaitu merangkumi aspek kebebasan; kebebasan jasmani, kebebasan
kehendak dan kebebasan moral. Eksistensialisme berasal daripada perkataan existent yang
bermaksud wujud atau ada. Deontologikal tindakan ini dipelopori oleh Jean Paul
Satre yang menekankan kebebasan iaitu manusia bebas memilih tindakannya.
Individu bebas buat pilihan atau keputusan moral dan tidak membenarkan
pilihan atau keputusannya dipengaruhi orang lain.
Eksistensialisme
juga dikaitkan dengan pilihan moral (First Hand Choice) iaitu membuat
pilihan terus dari akal rasional berdasarkan kepada sesuatu keputusan moral
yang sentiasa berubah, tidak universal, bersifat subjektif, tidak mutlak, tidak
kekal dan individualistik. Contohnya, seseorang individu tidak dilahirkan terus
untuk menjadi guru, tetapi merupakan pilihan individu tersebut untuk menjadi
guru atau pekerjaan lain. Begitu juga dengan pelaksaan tindakan lain oleh
seseorang yang dirasakan yakin dan betul untuk dilaksanakan. Aspek ini
mementingkan kebebasan individu untuk memilih tanpa dipengaruhi oleh faktor
lain tetapi masih dalam konteks rasional membuat pemilihan.
Prinsip
kewajiban pula membawa maksud sesuatu tindakan dianggap bermoral jika dilakukan
dengan kerelaan hati atau tanggungjawab yang diakui. Arti kata lain, prinsip
ini menegaskan
tanggungjawab dilaksanakan semata-mata karena amalan itu
merupakan kewajipan. Sebagi contoh, menunaikan janji
yang telah dikotakan. Seorang ayah yang telah berjanji akan memberi hadiah atau
ganjaran kepada anaknya sekiranya berjaya di dalam peperiksaan, perlu
menunaikan janjinya. Jika tidak si anak akan hilang kepercayaan terhadap
ayahnya dan berputus asa untuk meneruskan kejayaannya kerana janji yang
dikotakan tidak dilaksanakan. Bagi mengambil sesuatu tindakan bermoral, kita
perlu mempraktikkan formula berikut:
Kebebasan + Keadilan + Kebijaksanaan
+ Pilihan (rujukan Maxim) = Tindakan Bermoral.
Tekad baik dapat
diterangkan lebih jelas dengan tindakan manusia dalam melakukan tugas dan
tanggungjawabnya semata-mata kerana desakan nilai dalaman yang dipanggil ‘good
will’ atau tekad baik dan bukan disebabkan oleh motif-motif lain
seperti ganjaran, hukuman atau tekanan. Jika seseorang melakukan tugas dan
tanggungjawabnya disebabkan keseronokan, simpati atau kasihan tetapi bukan
disebabkan ‘good will’, maka tindakannya dikatakan tidak mempunyai nilai
moral walaupun mendapat sanjungan dan pujian.
Prinsip
kewajiban terbagi kepada dua kategori iaitu categorikal imperative (perintah
mutlak) dan practical imperative. Categorical imperative atau
perintah mutlak menerangkan perintah yang wujud tanpa sebarang pengecualian
atau syarat-syarat. Terdapat tiga prinsip utama dalam perintah mutlak ini iaitu
prinsip tersebut mestilah diterima secara umum, dapat menghormati manusia dan
pihak yang bertanggungjawab sanggup diperlakukan sedemikian sekiranya dia
berada dalam kedudukan teraniaya. Practical imperative (Praktikal
Imperatif) menyatakan bahawa kemanusiaan hendaklah sentiasa menjadi matlamat
dan bukan alat perlakuan individu. Malah, kemanusiaan adalah suatu nilai
intrinsik manusia.
Contoh yang
berkaitan dengan kehidupan seharian yang boleh dikaitkan dengan categorical
imperative atau perintah mutlak ialah situasi semasa peperiksaan.
Ramai yang mengetahui meniru atau menipu di dalam peperiksaan merupakan satu
tindakan yang salah, namun atas sifat mementingkan diri dan ingin mencapai
kejayaan dengan mudah masih ramai yang berani meniru atau menipu di dalam
peperiksaan. Perlakuan ini akan sentiasa dihina kerana ia merupakan satu
perbuatan yang tidak adil bagi individu yang jujur dan berusaha untuk mencapai
kejayaan.
Hasil daripada
pembacaan dan pemahaman saya berkaitan Teori Deontologikal ini, dapat saya
ulaskan bahwa setiap tindakan yang dilakukan diletakkan atas niat, tujuan dan
motif, bukan pada apa yang dilakukannya atau kesan dan akibat hasil daripada
tindakannya. Setiap tindakan yang diambil akan mempunyai nilai moral yang baik
jika dilakukan atas kerelaan hati dan motif tindakannya ialah satu
tanggungjawab kepada masyarakat bukan kerana paksaan atau desakan. Sekiranya
disebabkan desakan atau paksaan, tindakan tersebut mempunyai nilai moral yang
buruk. Selain itu, setiap tindakan yang dianggap betul dari segi moral tidak
dianggap memadai jika dilakukan semata-mata untuk kepentingan diri. Contohnya
seperti menderma, menderma merupakan satu tindakan yang baik dan setiap individu
digalakkan untuk menderma. Menderma juga dikatakan salah satu tindakan yang
bermoral dan mempunyai nilai yang baik jika dilakukan dengan penuh keikhlasan
serta kerelaan hati penderma. Namun, menderma masih menjadi tindakan bermoral
tetapi mempunyai nilai yang buruk jika berlaku desakan yang memaksa penderma
untuk menderma.
3. Teori Hybrid
Teori Hybrid
merupakan kombinasi atau suatu yang berlainan dari teori teleologi dan
deontologi. Dalam teori ini terdapat lima teori, meliputi:
- Personal LibertarianismDikembangkan oleh Robert Nozick, di mana perbuatan etikal diukur bukan dengan keadilan distribusi kekayaan, namun dengan keadilan atau kesamaan kesempatan bagi semua terhadap pilihan-pilihan yang ada (diketahui) untuk kemakmuran mereka. Teori ini percaya bahwa moralitas akan tumbuh subur dari maksimalisasi kebebasan individu.
- Ethical EgoismDalam teori ini, memaksimalisasi kepentingan individu dilakukan sesuai dengan keinginan individu yang bersangkutan. Kepentingan ini bukan harus berupa barang atau kekayaan, bisa juga berupa ketenaran, keluarga bahagia, pekerjaan yang baik, atau apapun yang dianggap penting oleh pengambil keputusan yang dalam hal ini adalah yang bersangkutan.
- ExistentialismTokoh yang mengembangkan teori ini adalah Jean-Paul Sartre. Menurutnya, standar perilaku tidak dapat dirasionalisasikan. Tidak ada perbuatan yang benar-benar salah ataua benar-benar benar atau sebaliknya. Setiap orang dapat memilih prinsip etika yang disukai karena manusia adalah apa yang ia inginkan dirinya menjadi.
- RelativismTeori ini berpendapat bahwa etika itu bersifat relatif, jawaban dari etika itu tergantung dari situasinya. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa tidak ada kriteria universal untuk menentukan perbuatan etis. Setiap individu mempunyai kriteria sendiri-sendiri dan berbeda setiap budaya dan negara.
- Teori Hak (right)Nilai dasar yang dianut dalam teori in adalah kebebasan. Perbuatan etis harus didasarkan pada hak individu terhadap kebebasan memilih. Setiap individu memiliki hak moral yang tidak dapat ditawar.
Pragmatisme mempunyai akar kata dari bahasa Yunani yaitu pragmatikos, yang dalam bahasa Latin menjadi pragmaticus. Arti harfiahdari pragmatikos adalah cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, perkara Negara, dan
dagang. Kata tersebut dalam bahasa Inggris menjadi kata pragmatic ,yang berarti berkaitan dengan hal-hal praktis atau sejalandengan aliran
filsafat pragmatisme. Karena itu, pragmatisme dapat berartisekadar pendekatan
terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoritis atau
ideal, hasilnya dapat dimanfaatkan, langsung berhubungan dengan tindakan,
bukan spekulasi atau abstraksi.
- Dalam kamus Filsafat, pragmatisme merupakan inti filsafat pragmatik dan menentukan nilai pengetahuan berdasarkan kegunaan praktisnya.Kegunaan praktis bukan pengakuan kebenaran objektif dengan kriterium praktik, tetapi apa yang memenuhi kepentingan-kepentingan subjektif individu.
- Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pragmatisme ialahkepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin,gagasan, pernyataan, ucapan, dsb), bergantung pada penerapannya bagikepentingan manusia.
- Sebagai aliran filsafat, pragmatisme berpendapat bahwa pengetahuandicari bukan sekadar untuk tahu demi tahu, melainkan untuk mengertimasyarakat dan dunia. Pengetahuan bukan sekadar objek pengertian, permenungan, atau kontemplasi, tetapi untuk berbuat sesuatu bagikebaikan, peningkatan, serta kemajuan masyarakat dan dunia. Pragmatismelebih memprioritaskan tindakan daripada pengetahuan atau ajar